Nafasku
tercekat, jantungku berdetak dengan cepat, pembuluh darahku seakan-akan
ngebut di dalam jalur peredarannya. Walau aku sangat penasaran, aku tak
ingin menatap test pack itu. Meskipun aku sangat tertarik mengetahui
hasilnya, tapi aku tak ingin tahu apa yang terjadi dengan test pack itu.
Positif atau negatifkah?
***
"Tenang, Sayang. Kita hanya mencoba-coba saja, kalau kau kenapa-napa, aku pasti tanggung jawab kok." Ucapnya sambil memaksa.
"Janji?" Tanyaku singkat menatap matanya.
"Apa aku pernah berbohong?" Dia tak menjawab, hanya bertanya balik.
Itulah,
kekuatan dari kelenjar testosteron, menggoda seorang anak muda tanpa
tahu apa yang terjadi kedepannya. Seperti aku dan dia, begitu gila.
Malam itu, aku seperti tersentuh setan, aku berlaku seperti binatang
yang tak bermoral dan beragama. Jelas-jelas dalam kitabNya Tuhan
berkata: "JANGAN BERZINAH!" Bukankah peringatan keras itu tidak
diucapkan secara lirih oleh Sang Pencipta? Kenapa aku yang bukan
siapa-siapa ini begitu lancang melanggar perintahNYA dan malah menyentuh
laranganNYA. Tuhan, tapi apa KAU tahu yang kulakukan kala itu? Apa KAU
marah? Apa KAU menangis? Tuhan, plisss jangan marah! Hanya detik itu
saja aku melupakanMU. Setelahnya, aku hanya menangis, menyesal atas
segala kemahatololan yang kubuat sendiri. Menyesal atas kesalahan yang
merusak apapun yang telah kubangun dengan susah payah. Pria yang
mudah bicara cinta, ternyata lebih banyak menyimpan DUSTA. Memang Tuhan,
aturanMU selalu BERALASAN. PerintahMU selalu memiliki tujuan. Tuhan,
bisakah KAU maafkan aku untuk ke miliyaran kalinya?
***
POSITIF!
Rasanya aku ingin menggoreskan kaca dilembutnya kulit yang membalut
urat nadiku. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada
ibuku? Apa yang terjadi akan membuatku malu? Apa yang harus kulakukan
pada bayiku? Bagaimana dengan lingkungan sosialku? Apakah mereka akan
mencomooh dan menghinaku? Bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Bagaimana jika
anak ini bertanya tentang ayahnya? Bagaimana cara menghidupi bayi ini?
Apa aku siap untuk menjadi ibu? Kala itu, banyak pertanyaan mencuat liar
dari otakku, mengacaukan akal sehatku, dan merusak laju kerja jaringan
otakku. Tuhan, aku sangat ikhlas jika KAU cabut nyawaku kali ini.
"IKHLAS!" Teriakku lantang menggema, bunyi yang memantul dari dinding
kamar mandi.
Terpikir
jalan pintas. Cerdas! Bagaimana kalau aku makan buah nanas dengan
jumlah yang banyak? Bagaimana kalau aku terus-terusan meloncat hingga
aku keguguran? Bagaimana kalau aku meminum alkohol dengan konsentrasi
larutan 60%? Bagaimana kalau aku melakukan aborsi? Ah, sepertinya tidak
terlalu sulit untuk menghadapi masalah "sekecil" ini. Kuabaikan
kuliahku, kuseriusi "karya" mendadak yang satu ini. Menggugurkan bayi,
dosa yang berdasar pada keinginan untuk tidak merasa malu dikemudian
hari.
***
This
is it! Bidan ********** Ah, sebut saja Bunga atau Mawar. Bidan ini
dikenal sebagai wanita "cerdas" dan "baik hati", siap membantu wanita
yang dengan "senang hati" ingin menggugurkan bayinya dengan biaya yang
relatif terjangkau. Setelah aku mengambil nomor antrian, aku duduk di
bangku ruang tunggu bagian belakang. Awalnya, tempat ini memang tak
semenyeramkan apa kata orang. Di bagian depan, aku melihat sepasang
kekasih yang masih berumur muda, mungkin sekitar 22 tahun. Sang pria
memegang lembut perut kekasihnya, perut yang berisi calon bayinya,
sayangnya bayi itu sebentar lagi akan digugurkan. Tapi, tak berapa lama
kemudian aku mendengar suara teriakan dari ruang praktek, suara
kesakitan. Suster yang berjaga di dekat loket langsung menghampiri ruang
praktek dengan raut wajah panik. Suara teriakan itu memang sangat
mengagetkan.
Aku
menatap sepasang kekasih yang duduk dibangku depan. Sang wanita
memasang wajah takut, sang pria hanya menatap lemas kekasihnya. Mereka
terlihat saling mencintai, saling melindungi. Tapi, karena umur yang
sangat muda, karena pengalaman mereka yang sangat minim, tanggung jawab
menjadi orangtua terkesan sangat berat. Makanya, mereka menolak anugerah Tuhan yang disebut dengan anak. Sesakit
itukah cara untuk menghindari rasa malu? Dengan menyiksa diri sendiri,
dengan merusak sesuatu yang tak pantas untuk dirusak.
Aku
mengasihani diriku sendiri, menatap banyak tapak jalan yang telah
kulalui hingga detik ini. Aku memegang perutku yang mulai membesar,
mengelusnya lembut sambil menyimpulkan senyum, "Yang ada diperutku ini
adalah calon bayiku." Ucapku lirih dalam hati. Dia tidak berdosa, tapi
aku yang berdosa. Dia hanya terbentuk dari hasil dosaku, tapi sekali
lagi bukan dia yang berdosa. Jadi, kenapa aku harus mematikannya? Jadi,
kenapa aku harus merusak jiwa kecintaan Tuhan ini? Bukankah Tuhan telah
mempercayai bayi ini untukku? Tanpa disadari, air mata santai menuruni
lekukan pipiku. Aku merobek nomor antrian, meninggalkan tempat aborsi
laknat itu, lalu menghampiri mobilku di tempat parkir. Tuhan, apa kali ini aku melakukan tindakan yang benar?
***
Aku
mengendap-endap masuk ke kamar ibuku, beliau tidur sendirian, dengan
wajah lelahnya, dia asik memeluk guling berwarna biru itu. Aku
memperbaiki posisi selimutnya, menatap wajah beliau dengan sangat dalam.
Sebagai seorang single parent, beliau menjelma menjadi ibu dengan
sejuta keistimewaan, mampu menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan.
Apa aku akan mengikuti jejaknya? Sejak melihat sosok ayah yang begitu
buruk dimataku, aku tak lagi memandang laki-laki sebagai mahluk yang harus dicintai.
Aku
berbaring disamping ibuku. Merebahkan kepalaku disamping kepalanya,
mataku menatap lembut wajahnya. Tanganku bergerak menuju pundaknya, aku
menggenggam pundak ibu dengan lembut, pundak seorang ibu adalah tempat seluruh penderitaan melebur menjadi kekuatan. Aku menangis, tenggorakanku sakit, nafasku tersendat, ibu tersadar dari tidurnya lalu menatapku.
"Kenapa,
Sayang? Maaf kalau ibu pulang terlalu malam ya. Sebenarnya tadi pas
sampai di bandara, ibu pengennya sih langsung pulang, tapi ada sesuatu
yang harus ibu kerjakan di kantor dulu. Kamu kesepian ya beberapa hari
ini? Pasti kamu marah sama ibu?" Ucap ibu lirih, sambil mengelus
rambutku.
"Ibu, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi janji jangan marah yah?" Dengan malu-malu, ku-ucapkan kalimat itu pada ibu.
"Apa ibu pernah memarahimu?"
"Kalau aku hamil di luar nikah, apa kau tetap mencintaiku, Bu?"
Raut
wajah ibu tersirat dengan jelas, beliau sangat kaget dengan
pertanyaanku. Dia menghela nafas panjang, menarik tubuhku ke dalam
peluknya, dengan suara terisak dia menjawab, "Tidak, Anakku."
"Sungguh?" Semakin erat, kusambut peluknya, menangis dipundak ibu adalah hal terindah bagi setiap anak yang mencintai ibunya.
"Sayang,
dengarkan ibu ya. Ibu membesarkanmu dengan usaha keras walau tanpa
ayah, ibu berusaha menjadi dua tubuh dalam satu badan. Menjadi seorang
ayah yang bijaksana dan menjadi seorang ibu yang baik, dan yang sedang
kau alami kali ini, adalah cobaan yang harus kita hadapi sama-sama. Anugerah Tuhan itu ada untuk dijaga dan dirawat, bukan dirusak." Pernyataan ibu benar-benar menenangkanku.
"Ketika orang lain mengetahui aku hamil di luar nikah, pasti mereka mencemooh aku. Tapi, inilah yang kutahu, Bu, jika
seorang anak melakukan kesalahan, seseorang yang bukan siapa-siapa
selalu marah diawal, sedangkan seorang ibu selalu marah diakhir, karena
dia tahu sebab anaknya melakukan kesalahan." Senyumku mengembang, pelukku semakin erat.
Inilah
ibuku! Wanita kuat dengan wajah sendu. Dipundaknya tersimpan banyak
penderitaan, dihatinya tersimpan emosi yang tak bisa ia ungkapkan, tapi
dia berusaha tetap terlihat tegar dan kuat. Kali ini, aku sangat tidak
sabar menunggu kelahiran bayiku. Aku tidak lagi berpikiran untuk
menggugurkan bayiku. Kali ini, aku adalah seorang wanita yang bernafas untuk dua nyawa, untuk diriku dan untuk bayiku.
Source :(Dwitasari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar